Onigiri: Lebih dari Sekadar Nasi Kepal di Game Jepang

Onigiri artinya jauh lebih dalam dari sekadar nasi kepal yang populer di Jepang. Ternyata, makanan sederhana ini memiliki sejarah yang menakjubkan, sudah ada sejak periode Yayoi (300 SM – 250 M), dengan bukti arkeologi berupa gumpalan nasi yang telah mengarbon ditemukan di Prefektur Ishikawa.
Apa itu onigiri? Onigiri adalah makanan pokok yang istimewa dalam budaya Jepang. Istilah “onigiri” sendiri telah digunakan sejak periode Nara (710-794 M), dengan referensi “nigiri” (nasi yang dibentuk dengan tangan) muncul dalam teks-teks sejarah yang ditugaskan oleh Kaisar Gemmei. Selain itu, sejarah onigiri juga terkait erat dengan para samurai pada periode Sengoku (1493-1573), yang menunjukkan betapa pentingnya makanan ini dalam peperangan Jepang kuno. Bahkan, onigiri adalah bagian penting dari ransum militer selama Perang Dunia II.
Saat ini, kita dapat menemukan onigiri di hampir setiap toko serba ada di Jepang, menjadikannya pilihan populer untuk makanan cepat saji. Namun, arti onigiri bukan hanya sebagai makanan praktis, tetapi juga sumber nostalgia dan identitas budaya bagi banyak orang Jepang. Dalam artikel ini, kami akan mengeksplorasi makna mendalam dari onigiri yang telah menjadi ikon budaya yang bahkan merambah ke dunia game Jepang.
Asal-usul dan makna onigiri dalam budaya Jepang

Sejarah panjang onigiri dimulai jauh sebelum catatan tertulis tentangnya. Pada tahun 1987, penggalian arkeologi di Prefektur Ishikawa menemukan bukti luar biasa: gumpalan nasi terkarbonisasi dengan bekas tekanan jari manusia yang berasal dari periode Yayoi (300 SM-250 M). Penemuan ini menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Jepang telah terbiasa membuat nasi kepal untuk konsumsi sehari-hari sejak ribuan tahun lalu.
Makanan sederhana namun penuh makna ini dikenal dengan beberapa nama berbeda. Istilah “onigiri” berasal dari kata “nigiru” yang berarti meremas atau mengepalkan sesuatu dengan tangan. Sementara itu, “omusubi” berasal dari kata “musubime” yang berarti menyimpul atau menjalin, menggambarkan proses bulir-bulir nasi yang dijalin menjadi satu. Ada juga sebutan “nigirimeshi” yang juga mengacu pada nasi yang dikepal.
Menariknya, perbedaan penyebutan ini bervariasi berdasarkan wilayah di Jepang. Di Tokyo dan Prefektur Kanagawa, istilah “onigiri” lebih umum digunakan, sedangkan di sekitar daerah Kanto-Tokaido, “omusubi” lebih populer. Bahkan beberapa minimarket di Jepang membedakan penggunaan istilah ini – Family Mart menggunakan istilah “o-musubi”, sementara Lawson menggunakan “onigiri”.
Onigiri artinya lebih dalam dari sekadar makanan. Dalam filosofi Jepang, “omusubi” berkaitan erat dengan kepercayaan yang mengaitkannya dengan simbol gunung yang dianggap suci dalam kepercayaan Shinto. Oleh karena itu, omusubi umumnya dibentuk menyerupai segitiga, mengingatkan pada bentuk gunung. Selain itu, dalam huruf Kanji, onigiri ditulis sebagai “鬼切り” yang secara harfiah berarti “鬼” (oni: setan) dan “切” (kiru: memotong) – konon dahulu orang melempar nasi berbentuk bulat seperti batu untuk mengusir setan dan roh jahat.
Pada periode Heian (794-1185), onigiri dikenal sebagai “tonjiki” dan sering disajikan dalam upacara ritual di kuil. Dalam buku harian Murasaki Shikibu Nikki dari abad ke-11, ditulis tentang orang-orang yang memakan bola-bola nasi pada piknik makan siang.
Fungsi praktis onigiri berkembang seiring waktu. Awalnya digunakan sebagai cara memanfaatkan dan menyimpan sisa nasi, kemudian menjadi bekal yang ideal untuk para petani, prajurit, dan pedagang yang melakukan perjalanan jauh. Bentuknya yang padat memungkinkan nasi bertahan lebih lama dibandingkan nasi biasa.
Onigiri sebagai bekal penting dalam sejarah militer Jepang
Dalam sejarah militer Jepang, onigiri memiliki peran strategis yang jauh melampaui fungsinya sebagai makanan biasa. Bentuknya yang praktis dan mudah dibawa menjadikan onigiri sebagai ransum paling digemari para Samurai di sela-sela pertempuran. Kebiasaan tersebut akhirnya mengakar kuat sebagai tradisi masyarakat Jepang hingga saat ini.
Jejak onigiri sebagai bekal penting para samurai terekam jelas ketika dimulainya era Sengoku (1493-1573), periode paling brutal dalam sejarah Jepang. Pada masa ini, ketiadaan keturunan dari Shogun Yoshimasa Ashikaga memicu para penguasa dan jenderal dari berbagai wilayah Jepang untuk saling berebut kekuasaan. Para samurai yang bergerak menuju medan laga selalu membawa onigiri sebagai bagian penting dari ransum mereka.
Menurut Anthony J. Bryant dalam bukunya Samurai 1550-1600 (2008):
“Ransum dibawa ke medan tempur di dalam kantung panjang dan sempit oleh semua samurai. Nasi matang untuk sekali makan dalam bentuk onigiri (bola nasi). Atau persediaan beras untuk satu hari dimasukkan dalam kantung, kemudian diikat. Porsi berikutnya dimasukkan, dan kantung kembali diikat. Kantung ransum yang penuh dapat berisi 10-15 ‘gelembung’ nasi.”
Tak hanya itu, onigiri dengan tambahan acar plum pernah menjadi ransum militer selama periode Kamakura (1192–1333). Bahkan pada Perang Dunia II, onigiri tetap menjadi bekal penting pasukan angkatan darat, laut, dan udara Jepang. Pada masa itu, onigiri dianggap seperti “jimat perang” yang selalu dibawa oleh pasukan Jepang saat berhadapan dengan musuh-musuhnya, termasuk saat menaklukkan tentara kerajaan Belanda di Hindia-Belanda.
Jejak onigiri sebagai bekal perang juga turut diabadikan oleh para pilot Kamikaze. Para pilot muda yang mengemban misi bunuh diri ini membawa onigiri sebagai makanan terakhir mereka. “Pada tanggal 6 April 1942, berbagai pesawat bunuh diri mulai berdatangan dari pangkalan militer Kyushu (Jepang) ke Taiwan. Mereka adalah para pilot muda Kamikaze yang membawakan kami onigiri (bola nasi) makanan yang sangat dihargai pada masa itu.”
Onigiri dalam cerita rakyat dan simbol budaya
Tak hanya menjadi makanan praktis dan bekal perang, onigiri juga mengambil tempat istimewa dalam cerita rakyat dan budaya populer Jepang. Salah satu dongeng anak-anak Jepang yang paling terkenal adalah “Omusubi Kororin” (Nasi Kepal yang Menggelinding), yang pertama kali muncul dalam literatur pada awal abad ke-11 dan disebutkan dalam “Kisah Genji” karya Murasaki Shikibu.
Dalam dongeng ini, seorang kakek penebang kayu yang baik hati tidak sengaja menjatuhkan nasi kepalnya ke dalam lubang di bawah pohon. Menariknya, dari lubang tersebut terdengar nyanyian indah “♪ O musubi kororin… Korokororin ♪”. Setelah kakek itu ikut masuk ke dalam lubang, ia menemukan komunitas tikus yang berterima kasih atas makanan yang diberikannya dan memberinya hadiah berupa palu ajaib.
Namun, di balik kisah sederhana ini tersimpan makna yang lebih dalam. Dalam budaya Jepang kuno, tikus dianggap sebagai “penghuni bawah tanah” atau “penghuni ne-no-kuni” — pintu masuk ke dunia orang mati. Oleh karena itu, dongeng ini sesungguhnya mengajarkan nilai moral tentang karma: perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan, sementara keserakahan akan mendapat balasan buruk.
Selain dalam cerita rakyat, onigiri juga muncul dalam film klasik seperti “Seven Samurai” karya Akira Kurosawa (1954), di mana nasi kepal menjadi simbol terima kasih dari para petani kepada samurai. Onigiri juga secara luas direpresentasikan dalam anime, manga, dan film Jepang modern, menjadi ikon kuliner yang mendunia.
Dalam kehidupan sehari-hari, onigiri artinya jauh lebih dari sekadar makanan. Bentuk bulat atau segitiga onigiri mencerminkan keseimbangan dan kesatuan dalam keluarga atau komunitas. Proses pembuatannya yang melibatkan tangan adalah bentuk ekspresi kasih sayang dan perhatian. Ketika seorang ibu membuat onigiri untuk bekal anaknya ke sekolah, ini menjadi simbol kehangatan keluarga dan terima kasih.
Ragam isi onigiri, mulai dari umeboshi (plum asam) hingga salmon panggang, mencerminkan keanekaragaman budaya dan sikap terbuka masyarakat Jepang terhadap variasi. Bahkan dalam momen-momen khusus seperti piknik hanami (melihat bunga sakura), onigiri sering hadir sebagai makanan yang mengikat kebersamaan.
Kesimpulan
Ketika kita menyelami sejarah onigiri, jelas bahwa makanan sederhana ini sesungguhnya merupakan jendela untuk memahami budaya dan sejarah Jepang secara mendalam. Dari bukti arkeologis periode Yayoi hingga ransum para samurai di era Sengoku, onigiri telah menjadi saksi bisu perjalanan panjang bangsa Jepang. Terlebih lagi, kemunculannya dalam cerita rakyat seperti “Omusubi Kororin” semakin menegaskan posisinya sebagai simbol budaya yang kuat.
Meskipun saat ini dapat dengan mudah ditemukan di konbini (toko serba ada) di seluruh Jepang, onigiri tetap mempertahankan arti pentingnya. Bentuknya yang sederhana namun serbaguna mencerminkan nilai-nilai inti masyarakat Jepang—kesederhanaan, keberlanjutan, dan kebersamaan. Tidak mengherankan bahwa makanan ini kemudian menjadi ikon yang melampaui batas kuliner dan merambah ke dunia game dan budaya pop Jepang.
Pada hakikatnya, onigiri artinya jauh lebih dari makanan. Onigiri adalah perpaduan sempurna antara fungsi praktis dan makna simbolis. Di satu sisi, ini adalah solusi penyimpanan makanan yang cerdas; di sisi lain, merupakan ekspresi kasih sayang ketika dibuat oleh tangan seorang ibu untuk anaknya. Baik sebagai bekal perang, pembawa keberuntungan, atau simbol kebersamaan dalam piknik keluarga, onigiri telah merajut dirinya ke dalam kain budaya Jepang selama ribuan tahun.
Dengan demikian, ketika kita menikmati onigiri—baik dalam bentuk fisiknya maupun representasinya dalam game dan anime—kita sebenarnya sedang berpartisipasi dalam tradisi yang telah bertahan selama berabad-abad. Inilah kekuatan sejati onigiri: kemampuannya untuk menghubungkan masa lalu dengan masa kini, kesederhanaan dengan kedalaman makna, dan individu dengan komunitasnya.
Baca Juga Rahasia Fusion Food Masakan Nusantara dengan Rasa Global menu unik yang penuh kejutan
1 comment