Daging 3D Pertama Asia Tenggara Hadir di Singapura
Daging cetak 3D untuk pertama kalinya telah hadir di Asia Tenggara, menandai terobosan penting dalam teknologi pangan. Dalam pencapaian global yang menakjubkan, Steakholder Foods dari Israel dan Umami Meats dari Singapura telah berhasil memamerkan ikan kerapu cetak 3D yang diciptakan menggunakan pertanian seluler. Ini merupakan langkah revolusioner mengingat pasar ikan dan makanan laut diperkirakan bernilai sekitar $110 miliar dengan proyeksi pertumbuhan 3-4% setiap tahun dalam waktu dekat.
Selain itu, kami melihat bahwa teknologi daging 3D ini hadir tepat pada waktunya, karena populasi Asia Tenggara diproyeksikan akan bertambah hingga 700 juta orang dalam 30 tahun ke depan. Dengan teknologi daging 3D printer yang inovatif, kita dapat memproduksi produk daging kompleks dengan presisi tingkat industri tanpa mempengaruhi viabilitas sel. Perlu dicatat bahwa daging titan adalah daging masa depan yang menjanjikan, terutama karena lebih dari 1,1 miliar orang kekurangan akses terhadap makanan yang memadai pada tahun 2021, jumlah yang terus meningkat seiring pertumbuhan populasi. Namun, saat ini Singapura adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang telah mengizinkan produksi dan distribusi daging hasil budidaya.
Steakholder dan Umami Luncurkan Daging Ikan 3D Pertama di Asia Tenggara
Kolaborasi strategis antara dua perusahaan teknologi pangan telah menghasilkan terobosan penting di industri makanan alternatif. Steakholder Foods, perusahaan deep-tech pangan internasional asal Israel, bermitra dengan Umami Meats yang berbasis di Singapura untuk mengembangkan fillet ikan cetak 3D pertama yang siap dimasak menggunakan sel hewan yang dibudidayakan di laboratorium.
Kemitraan yang dimulai dua tahun lalu ini didukung oleh hibah dari Yayasan Riset dan Pengembangan Industri Singapura-Israel (SIIRD). Melalui kolaborasi ini, kedua perusahaan telah berhasil menciptakan prototipe daging ikan 3D yang menunjukkan fleksibilitas pencetakan 3D dan kultivasi sel dalam memproduksi berbagai produk ikan.
Proses pembuatannya dimulai dengan Umami Meats yang mengekstrak sel-sel dari ikan kerapu dan menumbuhkannya secara artifisial menjadi otot dan lemak. Selanjutnya, Steakholder Foods menambahkan sel-sel tersebut ke dalam “bio-ink” yang kemudian dicetak menggunakan printer 3D khusus untuk menghasilkan fillet ikan yang meniru sifat ikan laut yang ditangkap secara tradisional.
“Kami senang bekerja sama dengan Umami Meats untuk mengembangkan produk ikan terstruktur cetak 3D yang memiliki rasa dan tekstur sama baiknya dengan ikan yang ditangkap secara tradisional, tanpa merusak lingkungan,” ujar CEO Steakholder Foods, Arik Kaufman.
Mihir Pershad, CEO Umami Meats, menambahkan bahwa mereka telah menemukan proses untuk kerapu dan belut, serta berharap dapat menambahkan tiga spesies yang terancam punah lainnya dalam beberapa bulan mendatang. Melalui inovasi daging 3D printer ini, mereka bertujuan untuk membuat fillet ikan tanpa perlu mengurangi populasi ikan liar yang semakin berkurang.
Umami Meats menargetkan untuk meluncurkan produk daging ikan cetak 3D ini ke pasar pada tahun 2024, dimulai dari Singapura dan kemudian, tergantung pada regulasi, akan berekspansi ke negara-negara seperti Amerika Serikat dan Jepang. Sebagai bagian dari upaya strategis, kedua perusahaan juga akan bermitra dengan National Additive Manufacturing Innovation Cluster (NAMIC) Singapura untuk mengubah hasil penelitian terbaru menjadi produk makanan laut yang siap untuk komersialisasi.
Bagaimana Teknologi 3D Printer Menghasilkan Daging Siap Masak

Teknologi pembuatan daging cetak 3D melibatkan proses bioteknologi canggih yang menggabungkan teknik bioprinting dan rekayasa jaringan. Prosesnya dimulai dengan pengambilan sampel kecil sel hewan atau bahan berbasis tanaman yang kemudian dikembangkan dalam lingkungan laboratorium terkontrol.
Dalam kasus daging ikan yang dikembangkan oleh Steakholder Foods dan Umami Meats, Umami mengekstrak sel-sel dari ikan kerapu dan menumbuhkannya secara artifisial menjadi otot dan lemak. Selanjutnya, Steakholder Foods menambahkan sel-sel tersebut ke dalam “bio-ink” yang kemudian diproses menggunakan printer 3D khusus.
Selama proses pencetakan, sebuah piring kaca bergeser bolak-balik di printer 3D, membangun massa fillet putih sepanjang satu jari dengan setiap kali lewat. Hasilnya adalah fillet ikan yang memiliki struktur dan tekstur yang menyerupai ikan laut yang ditangkap secara tradisional.
“Ini memiliki tekstur ikan tradisional yang mengelupas dan ketika digoreng dan dibumbui sulit membedakannya,” jelas Arik Kaufman, chief executive Steakholder Foods. Fillet yang dihasilkan memiliki karakteristik yang sama dengan ikan asli, bahkan hingga ke tingkat bagaimana daging terpisah saat digoreng.
Namun, proses budidaya sel saja masih terlalu mahal. Oleh karena itu, sel ikan yang diambil dari ikan kerapu harus diencerkan dengan bahan-bahan yang berasal dari sayuran. Meskipun demikian, teknologi ini terus berkembang dan diyakini akan semakin terjangkau seiring waktu.
“Seiring berjalannya waktu, kompleksitas dan tingkat produk ini akan semakin tinggi, dan harga yang terkait dengan memproduksinya akan turun,” tambah Kaufman.
Teknologi daging cetak 3D ini tidak terbatas pada ikan saja. Di Jepang, ilmuwan dari Universitas Osaka juga telah berhasil menciptakan daging wagyu sintetis menggunakan teknologi printer 3D yang menggunakan sel punca sapi untuk menciptakan struktur daging dengan karakteristik marbling yang ikonik.
Berbeda dengan produk seperti Beyond Meat yang menggunakan bahan nabati, daging cetak 3D ini menggunakan sel hewan asli, sehingga menghasilkan produk yang sangat mirip dengan daging asli baik dalam hal rasa, tekstur, maupun nilai gizi.
Apa Dampak Peluncuran Ini bagi Industri Makanan dan Lingkungan
Peluncuran daging ikan cetak 3D ini membawa dampak signifikan bagi industri pangan dan lingkungan global. Sektor peternakan konvensional saat ini menggunakan sekitar 30% wilayah lahan di permukaan Bumi, dengan 70% lahan pertanian digunakan untuk mendukung industri peternakan. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran karena produksi daging secara konvensional dinilai kurang ramah lingkungan.
Daging cetak 3D menawarkan solusi dengan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 92% dan penggunaan lahan hingga 90% dibandingkan produksi daging sapi tradisional. Industri peternakan menyumbang sekitar 14,5% emisi karbon global menurut data dari Badan Pengelolaan Pangan dan Pertanian PBB. Namun, dengan teknologi 3D printer untuk produksi daging, angka ini dapat ditekan secara signifikan.
Dalam konteks makanan laut, peluncuran ini berpotensi mengurangi tekanan pada populasi ikan liar. Steakholder Foods dan Umami Meats berhasil menciptakan proses untuk kerapu dan belut, dengan rencana menambahkan tiga spesies langka lainnya dalam beberapa bulan mendatang. Selain itu, teknologi ini bisa menjadi alternatif terhadap praktik destructive fishing yang menyebabkan kerusakan pada ekosistem laut.
Secara ekonomi, pasar daging budidaya global diproyeksikan bisa mencapai USD 140 miliar dalam dekade berikutnya, sekitar 10% dari industri daging global. Kawasan Asia Pasifik diperkirakan akan mengalami pertumbuhan tercepat dengan CAGR 52,9% dari 2023 hingga 2030.
Tantangan utamanya adalah biaya produksi yang masih tinggi. Menurut tim peneliti dari Jepang, seporsi daging dari printer 3D ini membutuhkan biaya hingga 100 ribu Yen (sekitar Rp12,3 juta). Oleh karena itu, target produksi massal direncanakan pada tahun 2025 untuk menurunkan harga.
Singapura menjadi pionir di Asia Tenggara yang telah mengizinkan produksi dan distribusi daging hasil budidaya. Umami Meats berharap dapat membawa produk pertamanya ke pasar tahun depan, dimulai di Singapura sebelum berekspansi ke negara-negara seperti Amerika Serikat dan Jepang, tergantung pada regulasi setempat.
Kesimpulan
Daging cetak 3D telah membuktikan potensinya sebagai solusi pangan masa depan, terutama bagi Asia Tenggara yang populasinya diproyeksikan bertambah hingga 700 juta orang dalam tiga dekade mendatang. Kolaborasi antara Steakholder Foods dan Umami Meats undoubtedly membuka jalan baru dalam industri pangan alternatif. Singapura, sebagai pionir di kawasan ini, telah mengambil langkah berani dengan mengizinkan produksi dan distribusi daging hasil budidaya.
Meskipun demikian, tantangan terbesar saat ini adalah biaya produksi yang masih tinggi. Namun, seiring perkembangan teknologi dan peningkatan skala produksi, harga daging cetak 3D diharapkan akan semakin terjangkau. Perlu diingat bahwa teknologi ini masih dalam tahap awal, tetapi dampaknya terhadap lingkungan sudah terlihat jelas – pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 92% dan penggunaan lahan hingga 90% dibandingkan produksi daging konvensional.
Tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, daging cetak 3D juga berpotensi mengurangi tekanan pada populasi ikan liar yang semakin berkurang. Kami melihat bahwa teknologi ini dapat menjadi jembatan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan. Selain itu, pasar daging budidaya global yang diproyeksikan mencapai USD 140 miliar dalam dekade berikutnya menunjukkan prospek ekonomi yang menjanjikan.
Pada akhirnya, keberhasilan Steakholder Foods dan Umami Meats dalam menciptakan fillet ikan cetak 3D pertama di Asia Tenggara bukan sekadar pencapaian teknologi, melainkan langkah penting menuju sistem pangan yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab. Dengan target peluncuran komersial pada tahun 2024, kita akan segera menyaksikan bagaimana inovasi ini bertransformasi dari laboratorium ke piring makan kita.
Baca artikel Mi Instan Premium Jadi Bisnis Café Mewah 2025, bisa jadi ide bisnis baru.
Post Comment